Cerita tentang AJARAN DEWA RUCI KEPADA
ARYA WREKUDARA/ARYA SENA/BIMA ketika masuk ke dasar samudera guna
memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta), yang
disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga
Surakarta/Solo, Yosodipuro
|
|
berjudul:"SERAT DEWARUCI KIDUNG"
yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus
tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
|
|
Seperti apa kisahnya, maka kami informasikan intisarinya yaitu
bahwa pihak kaum Kurawa dengan nama negeri Amarta, ingin
menjerumuskan pihak Pandawa di negeri Astina,(yang sebenarnya
adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan Guru
Durna. Sena yang adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa
dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,maka
diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci
penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena yang telah yakin tidak mungkin teritipu
dan dibunuh oleh anjuran Gurunya, tetap berniat pergi mengikuti
perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk
mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu
Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang membahas bagaimana caranya Pandawa
dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda,
bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena,
Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma,
Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
|
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah
menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan,
menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam
triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci
ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam
gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu
keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan
Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di
gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan
bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari
ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan
Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau
telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu
akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam
perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke
atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik
lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana
mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri
dibawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud :
"Wahai cucuku yang sedang bersedih,enkau mencari tidak menjumpai,
engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kau cari
itu, sungguh menderita dirimu". Diceritakan saat Sena sudah
pasrah..... suara itu yang ternyata adalah dua dewa, Sang Hyang
Endra dan Batara Bayu, yang memberitahu bahwa dua raksasa yang
dibunuh Sena,ternyata memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan
juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke
Astina.Perintah inipun dituruti lagi.........
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna,
Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya,
Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas
kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang
Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari,
sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk
meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun lalu ia pergi
lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para
kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena ynag mengetahui
tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di
Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah
Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan
jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang
membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi,
dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka,
karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci
itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua
sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik
turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung
menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru
datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh
menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak
benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang
Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka
akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah
kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna
dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam
samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut,
kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian
tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke
laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara,
agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut,
wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam
bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa
bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa
meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di
badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
|
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh
iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan
meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang
dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas,
diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening.
Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
|
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia
bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas
laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu,
apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di
makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang
tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula
:"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika
tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba
sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati,
memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata,
kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan
dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki
keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu,
Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah
Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa,
kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari
air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk,
itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati
hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas
maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah
berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari
bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian
dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas
diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila
belum paham, akan tempat yang harus disembah".
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang
Kenyataan
"Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam
tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini
bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun
tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar
mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera
dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui
telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana
utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan
belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar,
dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam,
merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:"Yang
pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu,
sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya
hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat
sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu
jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu,
sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang
hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka,
yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah
menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati,
menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka
merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci
tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah
dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma
Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi
melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci,
itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk
dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya
terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini,
dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak
ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut
makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari
tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup,
mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma
ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana
Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya
kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan
bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi
lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat
dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak
lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan
kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula
dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala
gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan
panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri,
hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika
ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu
tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan
hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku
akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga
merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan,
semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam
segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan
tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di
dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu
juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada
nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang
benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan
anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci
:"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian,
kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara
melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak
bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira
hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari
mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang
tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak
berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan,
namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah
dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan
dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan
pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya,
bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah
bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran
tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran
batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang
dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan
yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam
yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang
tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh
Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada
dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu
hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal
dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan
jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya
Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling
hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan
ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya.
Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang
bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul
para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian
Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh
Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya
itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu
sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata
:"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi
ini".
Sampai disini cerita singkat tentang Dewa Ruci.
|
MAKNA
AJARAN DEWA RUCI
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada
kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan
gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang
diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.
Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci
Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya
bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti
atau sari dari pada ilmu suci.
Hutan Tikbrasara dan Gunung
Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan
Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara
berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping
cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah,
jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati
melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang
harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus
memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi
mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina
berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi.
Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan
antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam
cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem
bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan
Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini
berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya
samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang
berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan
halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian,
perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan
sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh
kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan
menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang
menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi
sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa
ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra
Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti
luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan.
Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini
menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati,
tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus
juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila
kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap
baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan
hidup dengan sadar.
4. Anoraga
: rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak
akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan
salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa
dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain
: melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari
perbuatan jahat.
7. Gembira
: bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi
merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian
yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu
berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan,
kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu
yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu
sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang
enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih
minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus
tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan
itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima
bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti
dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri.
Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa
kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini
adalah :
Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua
matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening
dan rasa hening.
Kedatangan dari dewa Suksma Ruci
adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan
Gusti.
Didalam paningal (pandangan
didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka)
jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting
dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan
yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman
ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup
dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya.
Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap
melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang
yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan
pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima
yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat
didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah,
hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah
dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan
nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya
tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak
tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara
teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua
tangannya.
Melambangkan :
1. Dia
telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2.
Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral
baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan
seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang
telah mencapai ilmu sejati.